Rabu, 19 Maret 2008

KEBERADAAN PKL (PEDAGANG KAKI LIMA) DI SURABAYA

Surabaya merupakan kota terbesar kedua setelah Jakarta yang memiliki penduduk hampir tiga juta jiwa. Kota ini memiliki berbagai potensi yang dapat menarik pendatang dari daerah sekitar maupun kota lain. Hal ini dibuktikan dengan bertambahnya jumlah penduduk yang meningkat pada tahun 2000 yaitu sebanyak 63.081 jiwa dan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Sebagai kota metropolitan yang memiliki pelabuhan Tanjung perak, bandara internasional Juanda, Stasiun kereta api Gubeng, pasar Turi dan terminal Purabaya, kota ini memang layak disebut sebagai salah satu gerbang perdagangan utama di wilayah Indonesia timur.
Banyaknya jumlah pendatang dari luar kota Surabaya yang tidak diimbangi dengan jumlah lapangan pekerjaan yang memadai menyebabkan masalah kota di Surabaya bertambah, selain itu krisis ekonomi dan moneter juga menyebabkan kelumpuhan ekonomi nasional terutama pada sektor riil yang berakibat terjadinya PHK secara besar- besaran dari perusahaan swasta nasional. Hal ini mengakibatkan munculnya pengangguran dikota – kota besar termasuk kota Surabaya.
Sulitnya perekonomian yang dialami masyarakat membuat mereka memilih suatu alternatif usaha di sektor informal dengan modal yang relatif kecil untuk menunjang kebutuhannya. Salah satu usaha disektor informal dengan modal relatif kecil adalah menjadi pedagang kaki lima.
Dari tahun ke tahun jumlah PKL di Suabaya terus bertambah. Menurut salah satu nara sumber, kepala Dinas Koperasi dan Sektor Informal kota Surabaya Ismanu tahun 2004 diSurabaya ada 15 000 PKL yang berada di 465 titik. Adapun tahun 2005 jumlah PKL mencapai 18 000 dan berada di 615 titik. Dikawasan jalan pahlawan misalnya kehadiran PKL menempati separuh badan jalan sehingga sangat menganggu ketertiban lalu lintas. Gangguan pada prasarana jalan tersebut menimbulkan kesemerawutan dan kemacetan kota. Oleh karenanya, pemerintah mengalami kesulitan dalam penataan dan pemberdayaan guna mewujudkan kota yang bersih dan rapi. Di samping itu PKL sebagai bagian dari usaha sektor informal memiliki potensi untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja yang kurang memiliki kemampuan dan keahlian yang memadai serta rendahnya tingkat pendidikan.
Permasalahan PKL bukan hanya permasalahan pemerintah kota Surabaya dan pedagang kaki lima. Akan tetapi merupakan masalah masyarakat umum. Hal ini dikarenakan keberadaan PKL telah mengganggu ketertiban lalu lintas yang dapat menyebabkan kecelakaan dan fasilitas umum tidak dapat digunakan secara optimal. Misalnya, Jalan Pahlawan kini disesaki kaum PKL yang menimbulkan kesemerawutan kota. Namun bila pedagang kaki lima digusur begitu saja, masyarakat pun akan sulit memenuhi kebutuhan mereka yang biasanya disediakan oleh pedagang kaki lima tersebut. Sedangkan bagi pemerintah kota Surabaya, kebijakan yang dikeluarkannya belum dapat diterapkan dengan baik. Tujuan untuk menciptakan sebuah kota yang indah, tertib dan teratur belum dapat terpenuhi karena keberadaan mereka, sedangkan pemerintah sendiri belum dapat memberikan solusi yang tepat bagi persoalan pedagang kaki lima.
PKL umumnya adalah self employed artinya mayoritas pedagang kaki lima hanya terdiri dari satu tenaga kerja. Modal yang digunakan relatif tidak terlalu besar dan terbagi atas modal tetap berupa peralatan dan modal kerja. Dana tersebut jarang sekali dipenuhi dari lembaga keuangan resmi, biasanya berasal dari sumber dana illegal atau supplier yang memasok barang dagangan. Sedangkan sumber dana tabungan pribadi sangat sedikit. Ini berarti hanya sedikit dari mereka yang dapat menyisihkan hasil usahanya dikarenakan rendahnya tingkat keuntungan dan cara pengelolaan uang sehingga kemungkinan untuk mengadakan inventaris modal maupun eksplorasi usaha sangat kecil.
Keberadaan pedagang kaki lima sebagai bagian dari usaha sektor informal memiliki potensi untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja, terutama bagi tenaga kerja yang kurang memiliki kemampuan dan keahlian yang memadai untuk bekerja disektor formal karena rendahnya tingkat pendidikan yang mereka miliki. Selain itu PKL juga berperan penting sebagai penyediaan barang dagangan yang dibutuhkan oleh masyarakat Surabaya mengingat harga yang ditawarkan lebih terjangkau sehingga masyarakat Surabaya lebih memilih membeli pada PKL dari pada di mal, grosir, maupun indogrosir yang ada di Surabaya.
Dalam hal sosial budaya Surabaya, pedagang kaki lima telah mendominasi kota Surabaya tanpa terpengaruh banyaknya bangunan plaza-plaza maupun indogrosir yang telah ada maupun yang akan dibangun. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya bangunan yang ramai oleh pengunjung. Namun para pengunjung cenderung memilih untuk membeli pada pedagang kaki lima. Hal tersebut dapat kita lihat dengan banyaknya pembeli yang ada di Tugu Pahlawan dibandingkan dengan pembeli yang ada di mal-mal ataupun plasa-plasa yang ada di Surabaya, hal ini dikarenakan harga yang ditawarkan lebih terjangkau dan dapat dinegoisasi.
Selama ini masalah yang dihadapi PKL selalu berkisar pada penggusuran lokasi, relokasi, modal, dan sulitnya mendapatkan Tanda Daftar Usaha. Persoalan pedagang kaki lima merupakan persoalan struktural yang berkaitan dengan persoalan sosial lainnya. Penanganan persoalan pedagang kaki lima yang dilakukan secara parsial bisa memunculkan persoalan baru yang lebih rumit.
Lokasi, sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan kelangsungan usaha para pedagang kaki lima, yang pada gilirannya akan mempengaruhi pula jumlah penjualan dan tingkat keuntungan. Sehingga kesulitan yang dihadapi oleh para pedagang kaki lima terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemkot Surabaya mengenai penataan lokasi pedagang kaki lima belum memberikan penyelesaian masalah yang bersifat solutif. Selama ini lokasi yang menjadi pilihan bagi pedagang kaki lima adalah daerah fasilitas umum padahal daerah tersebut telah dilarang oleh pemkot Surabaya.
Pada dasarnya suatu kegiatan sektor informal yakni pedagang kaki lima harus memiliki lokasi yang tepat agar dapat memperoleh keuntungan yang maksimal. Richardson ( 1991) berpendapat bahwa penentuan lokasi yang memaksimumkan penerimaan bila memenuhi kriteria pokok, yakni:
1. Tempat yang memberi kemungkinan pertumbuhan jangka panjang yang menghasilkan keuntungan yang layak
2. Tempat yang luas lingkupnya untuk kemungkinan perluasan unit produksi
Akan tetapi lokasi yang memungkinkan untuk hal tersebut tidak memungkinkan tercapai secara maksimal. Mengingat lokasi yang disediakan kurang memenuhi kriteria tersebut . Oleh karena itu sudah saatnya Pemerintah kota surabaya lebih memperhatikan lokasi PKL. Sesuai dengan pendapat Richarson di atas seharusnya Pemerintah kota surabaya melakukan identifikasi terlebih dahulu, daerah mana saja yang dapat memungkinkan pedagang kaki lima untuk mengembangkan usahanya. Intinya Pemerintah Kota Surabaya tidak asal relokasi, tetapi juga harus mempertimbangkan akses sosial yang baik agar tidak menghambat perkembangan usaha pedagang kaki lima.
Pemerintah kota seharusnya mengorganisir keberadaan mereka kemudian melakukan penataan dan menempatkan PKL pada titik-titik tertentu yang strategis dengan ketentuan PKL “harus tetap menjaga ketertibannya”. Pemerintah kota Surabaya perlu memberikan surat izin yang berfungsi sebagai bukti bahwa Pemerintah kota Surabaya telah menyetujui lokasi tersebut. Hal ini berkaitan dengan pendataan TDU (Tanda Daftar Usaha) oleh Pemerintah Kota Surabaya.
Dalam pembuatan TDU, PKL harus mendaftarkan diri pada Dinas Koperasi dan Sektor Informal melalui Kelurahan/Kecamatan. Yang selanjutnya akan ditinjau dan dirapatkan oleh Tim dari Dinas Koperasi dan Sektor Informal, kemudian dikeluarkan dalam berita acara ‘apakah permohonan tersebut disetujui atau ditolak’. Jika permohonan tersebut disetujui maka akan disahkan oleh Walikota Surabaya, akan tetapi apabila permohonan tersebut ditolak akan dikembalikan pada Kelurahan/Kecamatan.
Dalam hal keterkaitan dengan para PKL yang tidak memiliki identitas dagang yang dibuktikan dengan kepemilikan TDU atau tanda daftar usaha, sering kali dikatakan sebagai pedagang kaki lima liar dan mereka sering digusur oleh satpol PP karena tidak memiliki tanda daftar usaha tersebut. Adanya TDU yang ditentukan oleh pemkot Surabaya dianggap menyulitkan pedagang kaki lima. Hal ini dikarenakan syarat untuk memiliki TDU harus melampirkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) Surabaya serta jangka waktu TDU hanya 6 bulan. Syarat tersebut memberikan ruang gerak yang sempit bagi pedagang kaki lima yang berasal dari luar kota Surabaya, Padahal pedagang kaki lima kebanyakan berasal dari luar kota Surabaya. Selain itu jangka waktu yang ditentukan sangat pendek mengingat setiap pengurusan TDU seorang pedagang kaki lima harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 100.000 ( menurut Bpk Yudi, penjual soto Lamongan). Biaya tersebut terlalu berat bagi PKL yang akan membuat TDU. Di lain sisi Sat Pol PP rutin untuk melakukan penertiban dan penggusuran PKL. Sehingga secara tidak langsung terjadi penolakan-penolakan terhadap penggusuran dan penertiban dari pihak PKL maupun yang pro (mendukung) PKL.
Satuan Pol PP Kodya Surabaya sebagai eksekutor (penggusur) dalam Penertiban dan Penanganan mengaku sangat lelah dalam penertiban PKL secara terus-menerus, yang dilakukan di daerah tersebut. Penertiban dilakukan dengan melalui pemberitahuan kepada PKL terhadap lokasi yang mereka tempati sebagai lokasi sarana umum. Penanganan dengan cara pemberian surat teguran dari Pemkot kepada kecamatan/kelurahan, dimana PKL tersebut menempati lokasi dagang mereka. Namun penanganan dan penertiban tersebut kurang dihiraukan sehingga Pemkot melalui Pol PP Kodya Surabaya melakukan penggusuran secara tegas, yang selanjutnya dibawa ke pengadilan yang mengarah pada denda sesuai dengan Perda (Peraturan Daerah) No17 Tahun 2003, akan tetapi hal tersebut selalu tidak sesuai dengan apa yang ada pada Peraturan Daerah tersebut. Karena jumlah biaya denda yang ditawarkan pada setiap PKL hanya bekisar Rp. 15.000,- hingga Rp. 30.000,-. Serta pemberitahuan secara tegas kepada PKL agar tidak berjualan di lokasi tersebut. Namun penaganan dan penertiban tersebut tidak diindahkan oleh para PKL tersebut sehingga alat dagang dan alat peraga dagang PKL dimusnahkan/dibakar oleh Pemkot yang dilakukan oleh Pol PP Kodya Surabaya.
Penanganan dan penertiban tersebut dirasa kurang dapat menyelesaikan permasalahan PKL, karena dengan adanya indikasi PKL tetap kembali pada lokasi yang dilarang untuk dilakukan transaksi jual beli. Dengan adanya hal tersebut pula dapat menimbulkan bertambahnya jumlah PKL mengingat lokasi tersebut padat akan daya beli. Sehingga penanganan dan penertiban PKL yang dilakukan oleh Pemerintah Kota kurang dapat memberikan jalan keluar bagi PKL di Surabaya.
Pola penanganan pedagang kaki lima yang ada di perkotaan hendaknya tidak menggunakan pola politik karena penanganan pedagang kaki lima ini jika tidak berhasil akan menimbulkan efek yang besar bagi tatanan kota Surabaya. Oleh karena itu pemerintah kota Surabaya dituntut untuk memiliki strategi yang efektif dalam merumuskan kebijakannya agar tidak merugikan semua pihak. Sehingga seharusnya suatu kebijakan publik berdasarkan pada kepentingan publik yakni masyarakat Kota Surabaya secara umumnya.
Pada hakekatnya suatu kebijakan harus melalui suatu prosedur kebijakan yang berorientasi pada masalah. Suatu kebijakan berorientasi dari suatu rumusan masalah yang menjadi masalah kebijakan. kemudian diorientasikan dengan kinerja, aksi, hasil, dan masa depan kebijakan tersebut. Dan diharapkan pemerintah kota surabaya juga memperhatikan komunikasi publik guna kepentingan publik. Dalam hal ini kebijakan terhadap PKL di surabaya, yang dimana kebijakan beroirentasi pada masalah PKL yang sadar maupun tak sadar hukum (tanpa adanya ketimpangan kepentingan). Sehingga diharapkan pemerintah kota dapat mengaktualisasikan proses kebijakan tersebut sesuai prosedor kebijakan, guna perkembangan dan pemberdayaan PKL sebagai sektor informal di Surabaya.
Pedagang kaki lima, sebagai usaha sektor informal yang berada dalam naungan paguyupan, pada umumnya telah mentaati peraturan yang di buat oleh pemerintah kota Surabaya. Hal ini dapat dibuktikan dengan :
1 Kepemilikan tanda daftar usaha (TDU) dengan ketentuan sebagai berkut (sebagaimana tercantum dalam pasal 5 dan 6, Perda No. 17 Tahun 2003) yakni : Tidak memperjualbelikan tempat usaha atau lokasi kepada orang lain, Tidak memperdagangkan barang ilegal menurut ketentuan undang-undang baik disengaja maupun tidak disengaja., Tidak membangun tempat usaha secara permanen maupun semi permanen., Sanggup mengosongkan, mengembalikan dan menyerahkan kepada pemerintah apabila lokasi yang dimaksud sewaktu-waktu dibutuhkan oleh pemerintah serta tidak akan menuntut apapun pada pemerintah., Sanggup membersihkan lokasi usaha setelah selesai berjualan dan membuang sampah langsung ke tempat pembuangan sampah terdekat., Tidak meninggalkan alat peraga setelah selesai berjualan., Tidak menggunakan tempat usaha sebagai tempat tinggal dan kegiatan terlarang seperti judi dll., Tidak mengalihkan tanda daftar usaha kepada pihak lain dalam bentuk apa pun
2 Membayar iuran kebersihan sebesar Rp.1000,-
3 Bersedia menyeragamkan tenda sebagai identitas dari paguyupan pedagang kaki lima hanya yang ada di Surabaya.
Namun hal di atas dirasa belum cukup bagi pihak Pemkot Surabaya, karena mereka masih dianggap sebagai masalah bagi Kota Surabaya. Peran dan keberadaan PKL bagi masayarakat Surabaya belum bisa membuat senang pihak Pemkot Surabaya. Karena PKL dianggap sebagai salah satu masalah kependudukan di kota Metropolitan ini. Akan tetapi pada mulanya para PKL juga memiliki nilai fungsional dan kontribusi terhadap perekonomian informal masyarakat kota. Terutama bagi para konsumennya yang berada di bawah kelas menengah. Labih dari itu, para PKL ini akan memberikan keuntungan ekonomi bagi perekonomian rakyat. Mereka tetap survive di tengah krisis ekonomi, dan itu sudah teruji. Karena itu, yang perlu ditumbuh kembangkan oleh Pemerintah Kota Surabaya adalah bagaimana membuat kebijakan yang dapat mempermudah dan memberi akses (ekonomi) yang memadai bagi pengembagan usaha informal tersebut.
Oleh karena itu, Pemerintah Kota Surabaya sudah saatnya meninjau ulang berbagai kebijakannya yang cenderung diskriminatif dan merugikan kaum miskin kota serta usaha ekonomi informal perkotaan. Dengan kata lain, kebijakan publik harus bersifat afirmative artinya kebijakan tersebut mengutamakan mayoritas (Masyarakat Surabaya) tanpa mengabaikan kaum minoritas (Pedagang Kaki Lima). Dan kebijakan Pemerintah Kota Surabaya dapat bersifat solutif bagi PKL dan masyarakat Surabaya.