Minggu, 30 Desember 2007

PERSOALAN PEDAGANG KAKI LIMA DI SURABAYA TERHADAP KEBIJAKAN PEMERINTAH KOTA SURABAYA

BAB I
PENDAHULUAN



A. Latar Belakang

Surabaya merupakan kota terbesar kedua setelah Jakarta yang memiliki penduduk hampir tiga juta jiwa. Kota ini memiliki berbagai potensi yang dapat menarik pendatang dari daerah sekitar maupun kota lain. Hal ini dibuktikan dengan bertambahnya jumlah penduduk yang meningkat pada tahun 2000 yaitu sebanyak 63.081 jiwa dan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Sebagai kota metropolitan yang memiliki pelabuhan Tanjung perak, bandara internasional Juanda, Stasiun kereta api Gubeng, pasar Turi dan terminal Purabaya, kota ini memang layak disebut sebagai salah satu gerbang perdagangan utama di wilayah Indonesia timur.
Banyaknya jumlah pendatang dari luar kota Surabaya yang tidak diimbangi dengan jumlah lapangan pekerjaan yang memadai menyebabkan masalah kota di Surabaya bertambah, selain itu krisis ekonomi dan moneter juga menyebabkan kelumpuhan ekonomi nasional terutama pada sektor riil yang berakibat terjadinya PHK secara besar- besaran dari perusahaan swasta nasional. Hal ini mengakibatkan munculnya pengangguran dikota – kota besar termasuk kota Surabaya.
Sulitnya perekonomian yang dialami masyarakat membuat mereka memilih suatu alternatif usaha di sektor informal dengan modal yang relatif kecil untuk menunjang kebutuhannya. Salah satu usaha disektor informal dengan modal relatif kecil adalah menjadi pedagang kaki lima.
Dari tahun ke tahun jumlah PKL di Suabaya terus bertambah. Menurut salah satu nara sumber, kepala Dinas Koperasi dan Sektor Informal kota Surabaya Ismanu tahun 2004 diSurabaya ada 15 000 PKL yang berada di 465 titik. Adapun tahun 2005 jumlah PKL mencapai 18 000 dan berada di 615 titik. Dikawasan jalan pahlawan misalnya kehadiran PKL menempati separuh badan jalan sehingga sangat menganggu ketertiban lalu lintas. Gangguan pada prasarana jalan tersebut menimbulkan kesemerawutan dan kemacetan kota. Oleh karenanya, pemerintah mengalami kesulitan dalam penataan dan pemberdayaan guna mewujudkan kota yang bersih dan rapi. Di samping itu PKL sebagai bagian dari usaha sektor informal memiliki potensi untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja yang kurang memiliki kemampuan dan keahlian yang memadai serta rendahnya tingkat pendidikan.
Permasalahan PKL bukan hanya permasalahan pemerintah kota Surabaya dan pedagang kaki lima saja tetapi juga merupakan masalah masyarakat umum. Hal ini dikarenakan keberadaan PKL telah mengganggu ketertiban lalu lintas yang dapat menyebabkan kecelakaan, fasilitas umum tidak dapat digunakan secara optimal, misal jalan–jalan strategis Surabaya, Jalan Tunjungan kini disesaki kaum PKL yang menimbulkan kesemerawutan kota. Namun bila pedagang kaki lima digusur begitu saja, masyarakat pun akan sulit memenuhi kebutuhan mereka yang biasanya disediakan oleh pedagang kaki lima tersebut. Sedangkan bagi pemerintah kota Surabaya, kebijakan yang dikeluarkannya belum dapat diterapkan dengan baik. Tujuan untuk menciptakan sebuah kota yang indah, tertib dan teratur belum dapat terpenuhi karena keberadaan mereka, sedangkan pemerintah sendiri belum dapat memberikan solusi yang tepat bagi persoalan pedagang kaki lima.
Mengacu uraian diatas, penting kiranya agar semua pihak untuk melakukan upaya penyelesaian permasalahan ini. Dengan adanya upaya yang sungguh-sungguh dari semua pihak diharapkan penyelesaian permasalahan ini membawa segi positif berupa tercapainya tujuan yang diharapkan pemerintah untuk mewujudkan kota yang tertib, indah, asri dapat terwujud sekaligus tujuan pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil khususnya PKL pun dapat tercapai.
Upaya yang telah dijalankan semua pihak diharapkan pula dapat mengurangi masalah sosial seperti kemiskinan, kriminal dan konflik baik konflik vertikal dan horizontal. Konflik vertikal misalnya konflik antara pedagang kaki lima dan pemerintah kota menyangkut masalah kebijaksanaan pemerintah kota untuk melakukan penertiban sedangkan konflik horizontal misalnya konflik sesama pedagang kaki lima menyangkut masalah lahan.




B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penulisan karya tulis ilmiah ini adalah:
Bagaimana persoalan PKL dilihat dari perspektif PKL dan Pemerintah Kota Surabaya serta bagaimana cara mengatasinya terutama terkait dengan kebijakan Pemerintah Kota Surabaya ?

C. Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui gambaran masalah yang belum terselesaikan antara PKL dan kebijakan pemerintah kota Suarabaya
2. Untuk menjelaskan bagaimana upaya mengatasi persoalan pedagang kaki lima

D. Manfaat Penulisan


Adapun manfaat dari penulisan karya tulis ilmiah ini adalah:
1 Dapat memberi masukan bagi pemerintah kota Surabaya dalam upaya mengatasi persoalan pedagang kaki lima
2 Memberikan wawasan bagi pedagang kaki lima terkait dengan kebijakan pemerintah kota Surabaya










BAB II
KERANGKA BERPIKIR


Sulitnya perekonomian yang dialami oleh masyarakat pada saat krisis moneter dan ekonomi membuat mereka memilih alternatif usaha dengan modal yang relatif kecil untuk menunjang kebutuhannya. Adapun usaha kecil tersebut meliputi : usaha kecil formal, usaha kecil informal dan usaha kecil tradisional. Usaha kecil formal adalah usaha yang telah terdaftar, tercatat dan telah berbadan hukum, sementara usaha kecil informal adalah usaha yang belum terdaftar, belum tercatat dan belum berbadan hukum, anatar lain petani penggarap, industri rumah tangga, pedagang asongan, pedagang keliling, pedagang kaki lima dan pemulung. Sedangkan usaha kecil tradisional adalah usaha yang menggunakan alat produksi sederhana yang digunakan secara turun temurun dan/atau berkaitan dengan seni dan budaya.
Pedagang kaki lima (PKL) merupakan usaha informal yang bergerak dalam distribusi barang dan jasa. PKL, di satu sisi merupakan salah satu penggerak dalam perekonomian masyarakat pinggiran.
Hutajulu (1985) memberikan batasan tentang sektor informal, adalah suatu bidang ekonomi yang untuk memasukinya tidak selalu memerlukan pendidikan formal dan keterampilan yang tinggi, dan memerlukan surat-surat izin serta modal yang besar untuk memproduksi barang dan jasa.
Selanjutnya Sethurahman (1985) memberi batasan sektor informal ini sebagai unit-unit usaha berskala kecil yang terlibat dalam proses produksi dan distribusi barang-barang, dimasuki oleh penduduk kota terutama bertujuan untuk mencari kesempatan kerja dan pendapatan daripada memperoleh keuntungan.
Pada dasarnya Suatu kegiatan informal harus memiliki suatu lokasi yang tepat agar dapat memperoleh keuntungan (profit) yang lebih banyak dari tempat lain dan untuk mencapai keuntungan yang maksimal, suatu kegiatan harus seefisien mungkin. Richardson (1991) berpendapat bahwa keputusan-keputusan penentuan lokasi yang memaksimumkan penerimaan biasanya diambil bila memenuhi kriteria-kriteria pokok :
1. Tempat yang memberi kemungkinan pertumbuhan jangka panjang yang menghasilkan keuntungan yang layak.
2. Tempat yang luas lingkupnya untuk kemungkinan perluasan unit produksi.
Jadi artinya sektor informal adalah sektor yang memiliki ruang lingkup yang sangat luas dan kegiatan yang paling besar dijalankan oleh penduduk berpendapatan rendah.
Peraturan Daerah (Perda) Surabaya No 17 tahun 2003 yang mengatur tentang PKL merupakan keabsahan dari pemerintah kota Surabaya sebagai kelompok penguasa terhadap kelompok bawah diantaranya adalah para pedagang kaki lima. Namun melalui Perda tersebut para pedagang kaki lima justru merasa terancam kepentingannya yaitu kebutuhan dalam menjalankan usahanya.
Perda Surabaya No. 17 Tahun 2003 merupakan produk dari kelompok penguasa yakni Pemerintah Kota Surabaya. Peraturan tersebut dikeluarkan karena adanya suatu kebijakan penguasan terhadap yang dikuasai. Kebijakan tersebut bersifat publik dan membentuk suatu hukum yang harus dipatuhi oleh mereka yang dikuasai (dalam hal ini yakni PKL). Sehingga pada dasarnya produk hukum merupakan hasil dari kebijakan publik pada umumnya harus didelegasikan dalam bentuk hukum.
Menurut William Dum (2004), kebijakan yang dibuat guna kepentingan publik. Kebijakan publik didasarkan pada kepentingan masyarakat yang diimbangi dengan atensi terhadap kaum minoritas dalam masyarakat. PKL sebagai salah satu kaum minoritas yang bergelut dalam sektor informal merupakan bagian dari masyarakat Surabaya.
Oleh karena itu dalam merumuskan kebijakan pemerintah seharusnya lebih memihak pada kepentingan publik, Seperti yang dikatakan Harold D. Laswell yaitu Pada dasarnya kebijakan publik memiliki tiga elemen yaitu: (1) Identifikasi dan tujuan yang ingin dicapai.(2) Taktik atau strategi dan berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan. (3) Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dan taktik maupun strategi di atas.(Wibowo, 2004: 25).
Guna melaksanakan tiga elemen tersebut penguasa yakni Pemerintah Kota Surabaya harus melalui suatu proses komunikasi kebijakan. Proses komunikasi kebijakan ini melalui suatu pengetahuan yang berorientasi pada (1) Permasalahan yang timbul, (2) Aksi yang dilakukan salah satu pihak yakni PKL dan Pemkot Surabaya yang dihadapkan pada kepentingan masing-masing, dan (3) Kinerja salah satu pihak dalam perwujudan kepentingannya. Dengan adanya orientasi diatas, pengetahuan yang akan digunakan untuk mengambil kebijakan dapat diarahkan pada pengembangan materi yang akan didokumenkan oleh pihak penguasa yakni Pemerintah Kota Surabaya.
Dokumen tersebut didasarkan pada (1) Memorandum kebijakan, (2) Paper –paper isu kebijakan, dan (3) Ringkasan dari kebijakan yang telah dibuat oleh PKL dan Pemkot Surabaya, yang dilanjutkan pada (4) Pengumumam berita kebijakan tersebut agar diketahui baik pihak PKL maupun Pemerintah Kota Surabaya. Setelah adanya proses dokumen, kebijakan tersebut dikomunikasikan secara interaktif antara pihak PKL dan Pemerintah Kota Surabaya mengenai kebijakan yang telah dibuat melalui sebuah presentasi yang dilakukan oleh pihak yang berpengaruh dalam kebijakan tersebut yakni pihak Pemkot Surabaya.
Presentasi tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk percakapan, konfrensi, pertemuan, brefing ataupun dengar pendapat dari pihak PKL maupun Pemkot. Kemudian melalaui presentas diatas diharapkan adanya utilisasi dan pengetahuan mengenai kebijakan yang telah dirumuskan oleh kedua belah pihak yakni Pemkot dan PKL di Surabaya. Yang diarahkan pada perilaku kebijakan yang diaplikasikan melalui penyusunan agenda, pengadopsian kebijakan, implementasi dan penilaian terhadap kebijakan. sehingga dari perilaku-perilaku kebijakan tersebut dapat dianalisis dalam Analisis Kebijakan. Jika analisis kebijakan tersebut gagal, maka proses pembuatan kebijakan dikembalikan lagi pada pengetahuan kebijakan seperti yang digambarkan oleh (Harold dalam Wibowo, 2004:25)












Dengan adanya proses komunikasi kebijakan diatas, guna memenuhi tiga elemen dasar dalam komunikasi kebijakan publik diharapkan dapat meningkatkan partisipatif pihak-pihak yang terkait dalam kebijakan tersebut. Sehingga kesadaran hukum masyarakat merupakan hal yang sangat penting dalam pelaksanaannya
Kesadaran hukum berkaitan dengan aspek – aspek kognitif dan perasaan yang sering dianggap sebagai faktor yang mempengaruhi hubungan antara hukum dengan pola prilaku manusia dalam masyarakat. Sistem nilai – nilai yang tumbuh dalam masyarakat diwujudkan dalam hukum. Konsekuensinya, perubahan nilai diikuti perubahan hukum. Jadi kesadaran hukum merupakan knsepsi abstrak didalam diri manusia tentang keserasian antar ketertiban dengan ketentraman yang di kehendaki atau sepantasnya.
Kesadaran hukum akan menyebabkan masyarakat mematuhi hukum dikarenakan sistem nilai - nilai yang ada dalam masyarakat sesuai dengan nilai hukum yang berlaku. Kepatuhan terhadap hukum bukan hanya karena faktor kesadaran hukum tetapi dapat juga karena suatu imbalan atau sekedar menjaga hubungan baik dengan pihak berwenang seperti yang dikatakan Pospisil dalam (Salman, 2004) yang mengatakan bahwa ada beberapa faktor manusia mematuhi hukum yaitu complience, identification, internalization.
Complience adalah bentuk kepatuhan masyarakat pada hukum. Kepatuhan ini diejawantahkan dengan mematuhi hukum yang berlaku. Secara nyata kepatuhan ini sama dengan kepatuhan yang diakibatkan oleh kesadaran hukum namun hal ini akan terlihat jika imbalan dan fungsi hukuman atau sanksi tidak berjalan dengan b aik. Hal ini karena complience merupakan bentuk kepatuhan yang hanya didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghindarkan sanksi.
Identification adalah kepatuhan masyarakat pada hukum dalam taraf yang lebih tinggi dari complience. Kepatuhan pada taraf ini tidak hanya sekedar menghindarkan diri dari hukuman dan atas dasar imbalan saja tetapi lebih pada kesadarn untuk tetap menjaga hubungan baik dengan pihak yang membuat kaidah hukm.
Internalization, pada taraf ini masyarakat sudah mematuhi hukum karena kesadaran hukum karena nilai – nilai hukum telah terinternalisasi dalam dirinya. Isi kaidah kaidah hukum sesuai dengan nilai–nilainya dari pribadi yang bersangkutan atau oleh karena dia mengubah nilai–nilai yang semula dianutnya. Hasil dari proses tersebut adalah sesuatu konformitas yang didasarkan pada motivasi secara intrinsik.
Taraf internalization merupakan taraf tertinggi yang dapat melahirkan kesadaran hukum belum ditemukan dalam masyarakat pada umumnya, hanya beberapa individu saja yang sudah mencapai taraf ini karena mereka telah memenuhi empat indikator kesadaran hukum seperti yang dikemukakan oleh Soekanto bahwa terdapat empat indikator kesadaran hukum yaitu pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum, pola perilaku hukum(Soekanto dalam Salman,2004:56).
Untuk mencapai kesadaran hukum, indikator pertama yang harus dipenuhi adalah pengetahuan hukum yaitu pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku tertentu yang diatur oleh hukum (hukum tertulis). Dengan adanya pengetahuan hukum setidaknya seseorang tahu apa yang seharusnya boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Seperi pada pedagang kaki lima Surabaya, pengetahuan hukum khususnya tentang UU No 17 th 2003 perlu diketahui untuk menghasilkan kesadaran hukum.
Indikator yang kedua adalah pemahaman hukum yaitu sejumlah informasi yang dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu. Pemahaman hukum ini dapat diperoleh bila isi peraturan tersebut mudah dimengerti oleh masyarakat. Pemahaman hukum dapat dimiliki masyarakat apabila masyarakat mengetahui terlebih dahulu adanya hukum tersebut. Pada taraf ini masyarakat tidak hanya sekedar tahu tentang adanya suatu hukum saja tetapi paham tentang isinya termasuk tujuan yang hendak dicapai dari hukum tersebut. Dalam taraf inilah proses sosialisasi dari Pemkot Surabaya harus berperan aktif supaya PKL paham tentang isi UU No 17 tahun 2003 yang telah dikeluarkan oleh Pemkot Surabaya.
Indikator yang ketiga adalah sikap hukum yaitu kecenderungan untuk menerima hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu yang bermanfaat atau menguntungkan jika hukum tersebut ditaati. Taraf ini menyaratkan seseorang tidak hanya paham isi hukum tersebut tetapi juga menyadari bahwa nilai-nilai yang ada dalam hukum tersebut memang bermanfaat dan menguntungkan jika hukum tersebut ditaati. Sikap hukum yang dapat diejawantahkan oleh pedagang kaki lima adalah mematuhi peraturan yang berlaku walaupun nilai-nilai dalam hukum tersebut belum sama dengan nilai-nilai yang ada dalam individu tersebut.
Indikator yang terakhir adalah pola perilaku hukum yaitu kesadaran individu sudah diejawantahkan melalui perilaku hukum. Bukan hanya karena tahu manfaatnya saja tetapi didasarkan pula pada kesadaran yang benar-benar dari hati. Hal ini dikarenakan nilai-nilai hukum tersebut telah terinternalisasi dalam nilai-nilai pada individu tersebut. Jika masyarakat telah mencapai taraf ini maka mereka khususnya PKL tidak perlu selalu mendapat teguran, penertiban atau semacamnya karena mereka sudah tahu apa yang seharusnya mereka lakukan dan seharusnya tidak.
Kebijakan pemerintah yang baik belum tentu akan mencapai tujuan yang diharapkan jika belum ada kesadaran hukum dari masyarakat. Oleh karena itu antara kebijakan pemerintah dan kesadaran hukum masyarakat harus seimbang agar agar antara pedagang kaki lima dan pemerintah kota surabaya tidak terjadi konflik.
Konflik yang terjadi antara pedagang kaki lima dan pemerintah kota Surabaya tersebut merupakan konflik vertikal yang biasanya menyangkut masalah ketertiban kota dan kebijakan yang telah dibuat oleh Pemkot Surabaya selain konflik vertikal dapat juga terjadi konflik horizontal misalnya konflik antar pedagang kaki lima yang satu dengan yang lain menyangkut masalah lahan. Konflik antara pedagang kaki lima dan pemerintah kota Surabaya terjadi karena salah satu pihak memiliki kekuasaan dan perbedaan kepentingan. Seperti yang dikatakan oleh dahrendorf bahwa dalam sebuah struktur selalu ada pembentukan kelas yang terdiri dari kelas atasan dan kelas bawahan. Kelas atasan adalah kelas yang menguasai sedangkan kelas bawahan adalah kelas yang dikuasai yang tidak memiliki kekuatan dan harus tunduk pada kelas atasan (Poloma,1959:173). Perbedaan antara mereka yang menguasai dan yang dikuasai adalah terletak pada banyak sedikitnya mereka berpartisipasi dalam struktur tersebut. Bertolak dari teori yang dikemukakan oleh dahrendorf antara pedagang kaki lima dan pemerintah kota Surabaya, subyek yang di bahas dalam karya tulis ini, terdapat dikotomi yaitu pihak yang menguasai yaitu pemerintah kota Surabaya yang berperan serta dalam struktur kekuasaan melalui penguasaan dan pedagang kaki lima yang dikuasai melalui penundukan.


































BAB III
PEMBAHASAN


A. Analisis permasalahan

1. Keberadaan Pedagang Kaki Lima

PKL umumnya adalah self employed artinya mayoritas pedagang kaki lima hanya terdiri dari satu tenaga kerja. Modal yang digunakan relative tidak terlalu besar dan terbagi atas modal tetap berupa peralatan dan modal kerja. Dana tersebut jarang sekali dipenuhi dari lembaga keuangan resmi, biasanya berasal dari sumber dana illegal atau supplier yang memasok barang dagangan. Sedangkan sumber dana tabungan pribadi sangat sedikit. Ini berarti hanya sedikit dari mereka yang dapat menyisihkan hasil usahanya dikarenakan rendahnya tingkat keuntungan dan cara pengelolaan uang sehingga kemungkinan untuk mengadakan inventaris modal maupun eksplorasi usaha sangat kecil (Hidayat, 1978 ).
Kegiatan pedagang kaki lima yang merupakan usaha perdagangan sector informal perlu diberdayakan guna menunjang pertumbuhan ekonomi masyarakat dan sekaligus salah satu pilihan dalam menyediakan barang dagangan yang di butuhkan oleh masyarakat dengan harga yang relatif murah.
Keberadaan pedagang kaki lima bagi masyarakat Surabaya sangat penting sebagai penyediaan barang dagangan yang dibutuhkan oleh masyarakat Surabaya. Pedangan kaki lima sangat mempengaruhi pola pasar dan sosial di Surabaya. Pengaruhnya meliputi ekonomi, sosial-budaya dan kebijakan yang diberlakukan oleh pemkot Surabaya.
Dalam bidang perekonomian pedagang kaki lima hanya berpengaruh sebagai produsen yang penting bagi masyarakat Surabaya mengingat akan banyaknya manyarakat menengah maupun menengah ke bawah. Mereka lebih memilih membeli pada pedagang kaki lima hanya daripada membeli di supermarket, mal atau grosir maupun indogrosir yang banyak tersebar di kota Suarabaya, dikarenakan harga yang mereka tawarkan lebih rendah
Pedagang kaki lima telah menjadi mata pencaharian utama sebagian warga Surabaya. Sehingga pedagang kaki lima telah menjadi salah satu system yang tidak dapat dipinggirkan masalahnya oleh pemerintah kota Surabaya.
Dalam hal sosial budaya pedagang kaki lima hanya telah mendominasi kota Surabaya tanpa terpengaruh banyaknya bangunan plaza-plaza maupun indogrosir yang telah ada maupun yang akan dibangun. Kita dapat melihat dan memperhatikannya dengan banyaknya bangunan tersebut yang ramai oleh pembeli. Namun para pembeli cenderung kepada pedagang kaki lima (pasar tradisional) yang justru lebih ramai. Sosio-kultural dan ikatan antar warga dengan pedagang kaki lima hanya sangat kuat seperti halnya dengan ikatan keluarga atau saudara sehingga terbentuklah suatu paguyuban pedagang kaki lima hanya. Pedagang kaki lima hanya yang berada dalam naungan paguyupan pada umumnya telah mentaati peraturan yang di buat oleh pemerintah kota Surabaya. Hal ini dapat dibuktikan dengan :
1 Kepemilikan tanda daftar usaha (TDU) dengan ketentuan sebagai berkut (sebagaimana tercantum dalam pasal 5 dan 6, Perda No. 17 Tahun 2003) yakni : Tidak memperjualbelikan tempat usaha atau lokasi kepada orang lain, Tidak memperdagangkan barang ilegal menurut ketentuan undang-undang baik disengaja maupun tidak disengaja., Tidak membangun tempat usaha secara permanen maupun semi permanen., Sanggup mengosongkan, mengembalikan dan menyerahkan kepada pemerintah apabila lokasi yang dimaksud sewaktu-waktu dibutuhkan oleh pemerintah serta tidak akan menuntut apapun pada pemerintah., Sanggup membersihkan lokasi usaha setelah selesai berjualan dan membuang sampah langsung ke tempat pembuangan sampah terdekat., Tidak meninggalkan alat peraga setelah selesai berjualan., Tidak menggunakan tempat usaha sebagai tempat tinggal dan kegiatan terlarang seperti judi dll., Tidak mengalihkan tanda daftar usaha kepada pihak lain dalam bentuk apa pun
2 Membayar iuran kebersihan sebesar Rp.1000,-
3 Bersedia menyeragamkan tenda sebagai identitas dari paguyupan pedagang kaki lima hanya yang ada di Surabaya.
Namun ketaatan tersebut belum bisa dikatakan bahwa seseorang telah memiliki kesadaran hukum.Pada umumnya kesadaran hukum memang dikaitkan dengan ketaatan hukum sehingga hukum dapat benar-benar berfungsi dalam penyelenggaraannya.( Soekanto dalam Salman dan Susanto, 2004 : 53).
Seorang pedagang kaki lima dapat dikatakan sadar hukum dengan indikator-indikator sebagai berikut :
1 Seorang pedagang kaki lima mengetahui adanya Perda No 17 tahun 2003 yang telah dikeluarkan pemerintah kota Surabaya.
2 Seorang pedagang kaki lima memahami isi dari Perda yang No 17 tahun 2003 yang dan memahami tujuan dikeluarkannya Perda tersebut.
3 Seorang pedagang kaki lima menerima Perda No 17 th 2003 tersebut karena mengetahui bahwa Perda tersebut bermanfaat dan menguntungkan bagi dirinya.
4 Seorang pedagang kaki lima dapat mengaktualisasikan penerimaan mereka dengan cara melaksanakan isi dari Perda tersebut karena nilai-nilai dalam Perda tersebut sudah terinternalisasi dalam dirinya.
Seorang pedagang kaki lima belum dapat dikatakan sadar hukum bila salah satu dari empat indikator di atas ada yang belum terpenuhi. Pada kenyetaannya banyak pedagang kaki lima yang belum mengetahui adanya Perda No 17 tahun 2003 yang telah dikeluarkan Pemerintah kota Surabaya. Menurut pengakuan ibu Sholika ( penjual nasi pecel di daerah Jl Tugu Pahlawan) adanya Perda tersebut tidak diketahuinya “ aku gak weroh mbak, sing penting aku iso dodolan penak, dikongkon ngurus surat izin yo ngurus”. Menurut pengakuan pak Budi pun juga sama, beliau kurang mengerti adanya Perda di Surabaya “saya pernah dengar tentang perda tapi kurang paham, tetapi kalau disuruh mengurus surat tanda usaha ya.. saya ngurus supaya tidak digusur. Dari kedua pengakuan pedagang kaki lima di atas berarti tingkat kepatuhan PKL hanya pada taraf identification yaitu mematuhi suatu peraturan hanya karena ingin menjaga hubungan baik dengan pihak penguasa. Padahal yang diharapkan adalah kesadaran hukum dengan indikator kepatuhan terhadap hukum karena nilai–nilai hukum yang berlaku sudah terinternasisasi dengan nilai-nilai yang ada pada dirinya. Dengan adanya kesadaran hukum tersebut akan semakin mudah penerapan kebijakan pada pedagang kaki lima.
Namun perlu disadari bahwa penyeban dari rendahnya kesadaran hukum pada kalangan PKL disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan sebagian besar PKL. Berdasar pada pernyataan PKL diatas juga mengisyaratkan bahwa keberadaan Perda belum banyak diketahui oleh PKL sehingga wajar apabila PKL masih banyak yang melakukan pelanggaran. Sesuai dengan Indikator kesadaran hukum bahwa orang yang sadar hukum adalah harus tahu terlebih dahulu keberadaan hukum tersebut dengan kata lain harus memiliki pengetahuan hukum. Ketidaktahuan PKL akan adanya Perda menyebabkan PKL tidak paham hukum dan secara otomatis tidak akan terbentuk sikap hukum yang diharapkan.
Melihat kasus kesadaran hukum PKL seperti itu, Pemerintah kota surabaya sudah seharusnya merancang strategi untuk melakukan pembenahan dalam bidang sosialisasi. Sosialisasi bukan hanya untuk menginformasikan hal-hal yang harus dipatuhi dan tidak boleh di langgar namun harus lebih mengarah pada pemahaman hukum tersebut. Sosialisasi pemahaman hukum dapat dilakukan misalnya Pemerintah kota Surabaya menjelaskan apa tujuan dibuatnya hukum tersebut dan akibat-akibat apa yang mungkin terjadi apabila hukum tersebut dilanggar. Akibat tersebut tentunya akan membawa dampak buruk juga bagi PKL dan masyarakat umum. Sosialisasi pemahaman hukum secara intensif diharapkan akan merubah sikap hukum pedagang kaki lima dan nilai-nilai hukum akan cepat terinternalisasi dalam diri PKL.

2. Persoalan yang dihadapi Pedagang kaki lima
Persoalan pedagang kaki lima hanya merupakan persoalan structural yang berkaitan dengan persoalan sosial lainnya. Penanganan persoalan pedagang kaki lima hanya yang dilakukan secara parsial bisa memunculkan persoalan baru yang lebih rumit. Adapun persoalan yang dihadapi oleh pkl adalah :
Adanya pungutan Biaya oleh POl PP
Setiap pedagang kaki lima yang berjualan di Kota Surabaya dikenakan pungutan biaya sebesar Rp 1000 rupiah perhari dengan alasan untuk kebersihan lokasi. Padahal modal yang dimiliki oleh pedagang kaki lima hanya relatif tidak terlalu besar, dan terbagi atas modal tetap dan modal kerja saja. Karena modal yang dimiliki relatif kecil. mereka tidak dapat melakukan ekspansi usaha yang lebih lanjut. oleh karena itu keterbatasan modal tersebut memberikan ruang gerak yang sangat sempit bagi pkl dalam menjalankan usahanya sehingga keuntungan yang diperoleh juga tidak terlalu besar

Lokasi pedagang kaki lima
Lokasi pedagang kaki lima hanya sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan kelangsungan usaha para pedagang kaki lima , yang pada gilirannya akan mempengaruhi pula jumlah penjualan dan tingkat keuntungan. Dengan kata lain, kesulitan yang dihadapi oleh para pedagang kaki lima hanya berkisar antara peraturan pemkot Surabaya mengenai penataan pedagang kaki lima hanya yang belum bersifat membangun atau kontruktif. Selama ini lokasi yang menjadi pilihan bagi pedagang kaki lima adalah daerah fasilitas umum padahal tempat tersebut telah dilarang oleh pemkot Surabaya sehingga sering terjadi konflik antara pihak pedagang kaki lima dengan pihak pemkot Surabaya. Pada dasarnya suatu kegiatan sector informal yakni pedagang kaki lima harus memiliki lokasi yang tepat agar dapat memperoleh keuntungan yang maksimal. Richardson ( 1991) berpendapat bahwa penentuan lokasi yang memaksimumkan penerimaan bila memnuhi criteria pokok:
1. Tempat yang memberi kemungkinan pertumbuhan jangka panjang yang menghasilkan keuntungan yang layak
2. tempat yang luas lingkupnya untuk kemungkinan perluasan unit produksi
Akan tetapi lokasi yang memungkinkan untuk hal tersebut tidak memungkinkan tercapai secara maksimal mengingat lokasi yang disediakan kurang memenuhi criteria tersebut

Identitas dagang pedagang kaki lima
Identitas dagang pedagang kaki lima yang masih kurang jelas, dikarenakan adanya ketidakpedulian para pedagang kaki lima terhadap pengakuan dagang mereka sehingga tidak adanya kekuatan hukum yang mengikat. Selain itu para pkl yang tidak memiliki identitas dagang yang dibuktikan dengan kepemilikan TDU atau tanda daftar usaha, sering kali dikatakan sebagai pedagang kaki lima liar dan mereka sering digusur oleh satpol PP karena tidak memiliki tanda daftar usaha tersebut. Adanya TDU yang ditentukan oleh pemkot Surabaya dianggap menyulitkan pedagang kaki lima. Hal ini dikarenakan syarat untuk memiliki TDU harus melampirkan Kartu Tanda Penduduk (KTP ) Surabaya serta jangka waktu TDU hanya 6 bulan. Syarat tersebut memberikan ruang gerak yang sempit bagi pedagang kaki lima yang berasal dari luar kota Surabaya, Padahal pedagang kaki lima kebanyakan berasal dari luar kota Surabaya. Selain itu jangka waktu yang ditentukan sangat pendek mengingat setiap pengurusan TDU seorang pedagang kaki lima harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 100 000 ( menurut Bpk Yudi, penjual soto Lamongan)

Penggusuran
Penggusuran terhadap pedagang kaki lima bukan berita yang mengejutkan lagi, hampir setiap minggu pemerintah kota mengadakan penertiban bagi pedagang kaki lima, seperti tanggal 18 januari lalu, Satpol PP Surabaya menggusur pedagang kaki lima di Jalan pucang anom, kecamatan gubeng. Menurut camat Gubeng, Zaenal Arifin keberadaan pedagang kaki lima di trotoar jalan mengganggu pejalan kaki (Kompas Jatim, 19/01/07)
Selain itu penertiban juga dilakukan oleh Satpol PP di jalan-jalan utama diantaranya jalan panglima sudirman, jalan Diponegoro dan jalan Arjuno (Metronews. Com), padahal tempat tersebut merupakan penghidupan bagi mereka untuk berjualan yang dianggap dapat memperoleh keuntungan yang lebih besar dibanding dengan berjualan di tempat yang lain.
3. Persoalan yang dihadapi oleh Pemerintah Kota Surabaya
Menurut penuturan Bapak Nyoto bagian Operasional Pol PP (Polisi Pamong Praja) Kodya Surabaya bahwa persoalan Pemerintah Kota dalam menangani PKL di surabaya yakni penertiban dan penataan PKL. Penertiban dan penataan PKL yang dirasa sulit menurut Bapak Nyoto yakni daerah Praban, Baluran, Tidar, dan PKL Pahlawan. Sulitnya penertiban dan penangananyang dilakukan karena kurangnya kesadaran PKL terhadap aturan dan terganggunya fasilitas umum karena adanya aktivitas dagang mereka.
Pol PP Kodya sebagai eksekutor dalam Penertiban dan Penanganan mengaku sangat lelah dalam penertiban secara terus-menerus, yang dilakukan di daerah tersebut. Penertiban dilakukan dengan melalui pemberitahuan kepada PKL terhadap lokasi yang mereka tempati sebagai lokasi sarana umum. Penanganan dnegan cara pemberian surat teguran dari Pemkot kepada kecamatan / kelurahan dimana PKL tersebut menempati lokasi dagang mereka. namun penaganan dan penertiban tersebut kurang dihiraukan sehingga Pemkot melalui Pol PP Kodya Surabaya melakukan penggusuran secara tegas, yang selanjutnya dibawa ke pengadilan yang mengarah pada denda sesuai dengan Perda No17 Tahun 2003 dan pemberitahuan secara tegas agar tidak berjualan di lokasi tersebut. Namun penaganan dan penertiban tersebut tidak diindahkan oleh para PKL tersebut sehingga alat dagang dan alat peraga dagang PKL dimusnahkan / dibakar oleh Pemkot yang dilakukan oleh Pol PP Kodya Surabaya.
Penangan dan penertiban tersebut dirasa kurang dapat menyelesaikan permaslahan PKL, karena dengan adanya indikasi PKL tetap kembali pada lokasi yang dilarang untuk dilakukan transaksi jual beli. Dengan adanya hal tersebut pula dapat menimbulkan bertambahnya jumlah PKL mengigat lokasi tersebut padat akan daya beli. Sehingga penangana dan penertiban PKl yang dilakukan oleh Pemkot kurang dapat memberikan jalan keluar bagi PKL di Surabaya.



4 . Kebijakan Pemkot dalam menangani permasalahan pedagang kaki lima

Pedagang kaki lima, bangunan tanpa ijin, reklame liar, anak jalanan merupakan fenomena sosial pada setiap kota besar. Persoalan tersebut menjadi persoalan yang dilematis, di satu sisi pemerintah kota bertanggung jawab atas warganya dan di sisi lain pemerintah kota Surabaya juga harus tetap menjaga kebersihan dan kenyamanan kota. Untuk itu Pemkot mengambil kebijakan untuk mengeluarkan Perda No 17 Tahun 2003 tentang penataan dan pemberdayaan pedagang kaki lima. Kebijakan ini bertujuan untukmengembalikan ketertiban dan keindahan kota dengan konsekuensi harus menertibkan pedagang kaki lima, oleh karena itu kebijakan ini cenderung dinilai oleh beberapa pihak sebagai kebijakan yang kontraproduktif dan cenderung sepihak.
Pola penanganan pedagang kaki lima yang ada di perkotaan hendaknya tidak menggunakan pola politik karena penanganan pedagang kaki lima ini jika tidak berhasil akan menimbulkan efek yang besar bagi tatanan kota Surabaya.
Oleh karena itu pemerintah kota Surabaya dituntut untuk memiliki strategi yang efektif dalam merumuskan kebijakannya agar tidak merugikan semua pihak.
Berikut model-model penanganan yang dilakukan Pemkot dalam upaya menertipkan pedagang kaki lima yaitu sebagai berikut :
1. Memberikan penyuluhan atau kampanye penaataan PKL
Dalam hal ini seharusnya pemkot lebih memanfaatkan paguyuban-paguyuban PKL yang ada di Surabaya. Jumlah paguyuban PKL yang ada di Surabaya Kurang lebih 50 paguyuban atau lebih dan diperkirakan jumlah tersebut akan terus bertambah. Selama kampanye yang dilakukan oleh pemkot hanya berkisar pada beberapa paguyuban PKL yang sudah mempunyai nama dimata pemkot, yakni paguyuban PKL yang ada di daerah Rungkut, Bratang, Kebon Bibit, Darma Husada dan Delta.
Namun, penanganan tersebut tidak akan pernah terselesaikan karena hanya mengacu pada beberapa kepentingan yang ada pada kelompok paguyuban-paguyuban tertentu. Sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan suatu konflik internal kelomopok maupun eksternal kelompok.
Jika dikaji dengan teori dahrendorf adanya perbedaan kepentingan antar pemerintah kota Surabaya yang ingin mempertahankan kekuasaan melalui keabsahan perda no 17 tahun 2003 dengan pedagang kaki lima yang tidak memiliki kewenangan terhadap aturan tersebut dapat memberikan ketegangan diantara keduanya sehingga untuk mempertemukan titik penyelesaian permasalahan tersebut mengalami berbagai kesulitan

2. Diberi toleransi untuk membereskan dagangannya sampai batas waktu yang ditentukan dan bila tiba waktunya harus dipindah atau penggusuran tiba-tiba.
Pemberian toleransi yang diberikan oleh pemerintah kota melalui suatu lembaga yakni Satuan Pol PP Kotamadya Surabaya yang mengalami proses sebagai berikut:
Satuan Pol PP Kotamadya Surabaya melakukan komunikasi dengan salah satu pihak PKL yang akan digusur. Kemudian dalam komunikasi tersebut dilakukan selama 3 kali berturut-turut dengan salah satu PKL tersebut. Dan kemudian apabila dalam komunikasi tersebut dapat dihasilkan jalan keluarnya dan salah satu setuju untuk dilakukan suatu tindakan tegas melalui Surat Teguran yang mengetahui Walikota Surabaya.
Setelah Surat Teguran tersebut diterima oleh pihak PKL dan terdapat respon dari pihak PKL (dalam penurunan Surat Teguran ini dilakukan hingga 3 kali berturut-turut sampai terdapat respon dari pihak PKL). Maka pihak pemerintah kota melalui Satuan Pol PP memberikan toleransi untuk membereskan daganggannya sampai batas waktu yang ditentukan (pemberian batas waktu sesuai dengan keputusan dari pemerintah kota melalui surat teguran tersebut. Minimal 3 hari paling lama 7 hari setelah surat teguran terakhir turun).
Dan bila tiba waktunya akan dilakukan suatu tindakan tegas yakni penanganan atau pembongkaran langsung oleh Satuan Pol PP. Namun dalam hal pembongkaran dapat pula dilakukan oleh pihak PKL itu sendiri dengan tanpa adanya suatu perlawanan.
Satuan pol PP tidak akan melakukan penggusuran terhadap pedagang kaki lima apabila tidak ada surat pemberitahuan terlebih dahulu (Bpk Djalil, satpol pp jaya abadi)
Namun dalam hal penyelesaian diatas, pihak pemkot hanya memberitahukan pada salah satu pihak PKL saja. Seharusnya dapat dilakukan melalui suatu paguyuban PKL yang berdiri dalam lokasi PKL yang akan digusur tersebut. Sehingga keefektifan kerja dan kebijakan sosial dapat terlaksana secara berkesinambungan.

3. Pemindahan atau relokasi pada daerah yang baru.
Dalam hal pemindahan atau relokasi PKL seharusnya dimusyawarahkan bersama-sama, yang diwakilkan oleh masing-masing peguyuban PKL yang bersangkutan (bukan salah satu pihak namun satu pihak secara keseluruhan). Sehingga terdapat kesepakatan diantara keduanya. Dalam hal merelokasi pedagang kaki lima pemerintah kota Surabaya seharusnya memperhatikan letak lokasi dan kesejahteraan rakyat.
Dalam hal ini salah satu pengakuan dari pihak PKL yakni sebagai berikut :
“Saya setuju, dengan relokasi yang dilakukan oleh pemerintah kota Surabaya, akan tetapi lokasinya harus strategis yakni memnuhi daya beli yang tinggi “(Bpk yudi penjual soto daerah tugu pahlawan)
Relokasi pedagang kaki lima juga terjadi di daerah Ampel. Mengenai konsep dan desain bangunannya sudah selesai. Desain tersebut disusun konsultan pemerintah kota dari ITS Haryo Sulistarso menurutnya desain baru tersebut masih mengadopsi dari konsep sebelumnya. Jadi bangunan yang sudah ada akan lebih dioptimalkan. Misal gedung pedagang kaki lima yang dulunya tertutup diubah menjadi agak terbuka selain itu penurunan penumpang bus khusus disediakan didekat lokasi gedung penampungan .pedagang kaki lima sehingga penumpang yang turun dari bus pasti melewati tempat dagangan para pedagang kaki lima
Sehingga pada normalnya suatu kebijakan yang dilakukan pemkot seharusnya mengacu pada pencapaian tujuan yang maksimal, nilai-nilai dan praktek-praktek yang langsung terarah.
Pada dasarnya kebijakan publik memiliki tiga elemen yaitu :
1. Identifikasi dan tujuan yang ingin dicapai
Dalam hal ini identifikasi pada permasalahan PKL dan kepentingan PKL. Dan tujuan yang ingin dicapai adalah menyelesaikan persoalan PKL
2. Taktik atau strategi dan berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan
Dalam hal ini mengacu pada kesadaran hukum PKL terhadap Perda No.17 Tahun 2003 yang telah dibuat dan diimplementasikan pada mereka. Taktik dan strategi yang digunakan melalui pemberian penyuluhan yang efektif dan menyeluruh bagi para PKL. Pemberian reward bagi PKL yang dalam pola perilakunya mencerminkan kedisiplinan terhadap aturan maupun aturan yang berlaku. Dan penunjukkan leader/agent dari internal kelompok mereka yakni anggota dari paguyuban mereka sendiri.
3. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dan taktik maupun strategi di atas.( Harold dalam Wibowo,2004:25)
Dalam penyediaam penyuluhan secara efektif dan menyeluruh, jika pemkor mampu mengakomodasi seluruh PKL yang ada di Surabaya dengan cara pengidentifikasian PKL secara legal sehingga seluruh PKL yang ada mendapatkan penyuluhan tersebut.
Dalam pemberian reward disini, diharapkan lebih merangsang PKL untuk lebih berdisiplin diri dalam proses kegiatannya sehari-hari sehingga tujuan PKL dan tujuan Pemkot terhadap lingkungan kota dapat terjaga dengan baik.
Dalam hal penunjukkan leader/agent dibentuk melalui paguyuban PKL yang ada. Namun diharapkan seluruh PKL mempunyai lembaga yang menaunginya berupa paguyuban PKL. Sehingga dalam proses pendisiplinan diri dapat terlaksana dengan baik. Dan pemkot juga dapat mengakomodasi komunikatif diantara kedua belah pihak dengan baik melalui peguyuban-paguyuban yang ada.
Jadi antara hukum dan kebijakan publik adalah pemahaman bahwa pada dasarnya kebijakan publik umumnya harus didelegasikan dalam bentuk hukum dan pada dasarnya sebuah hukum adalah hasil dari kebijakan publik.
4. Bantuan dana
Pemprop Jatim akan melakukan revitallisasi atau perbaikan infrastruktur dua lokasi pedagang kaki lima (PKL) di taman bungkul, JL Raya Darmo dab lapangan Karah, jambangan, Surabaya. Dengan anggaran 200 juta rupiah.
“Dana dari pemprop Jatim ini sifatnya bantuan lunak” ujar Kasubdin pengembangan perkotaan dinas pemukiman propinsi Jatim, Ir. Hk Priyo Darmawan,Msc.
Revitaslisasi di lapangan karah, dilakukan dalam bentuk pembangunan areal parkir dan sanitasi lingkungan.
Revitalisasi di dua lokasi PKL tersebut, merupakan program lanjutan yang telah dilakukan sejak tahun 2006. pelaksanaan revitalisasi dilaksanakan melalui program padat karya yang melibatkan masyarakat setempat, ternasuk para pedagang sendiri.
Selain melakukan revitalisasi pada infrasturuktur, pemprop juga menfasilitasi PKL dalam peningkatan dan pemeliharaan lngkungan baik oleh hal pengelolaan sampah, pengaturan pola tata ruang dan pengoordinasian paguyuban.
Dalam hal sampah, juga dilakukan pembinaan pada PKL tentang bagaimana tata cara pengelolaan sampah kering dan basah serta sisa-sisa makanan yang nantinya memilki nilai jual dan produksi.
Bantuan lunak juga berupa peminjaman modal kepada para PKL. Seperti halnya, PKL di daerah Ampel, mereka mendapat pinjaman sebesar Rp. 1.500.0000,- hingga Rp. 2.000.000,- (belum dipotong uang adminisntrasi, menurut pengakuan salah pedagang di Ampel). Mengenai pengembalian modal tergantung kesepakatan. Namun syarat lokasi yang menjadi obyek revitalisasi dan memperoleh pinjaman yaitu telah memiliki lokasi tetap dan tidak berpindah-pindah lokasi serta telah mendapat penyuluhan dari pemerintah kota dan dinas koperasi kota Surabaya.
Sehingga pada dasarnya suatu kebijakan harus melalui suatu prosedur kebijakan yang berorientasi pada masalah. Suatu kebijakan berorientasi dari suatu rumusan masalah yang menjadi masalah kebijakan. kemudian diorientasikan dengan kinerja, aksi, hasil, dan masa depan kebijakan tersebut. Dan diharapkan pemerintah kota surabaya juga memperhatikan komunikasi publik guna kepentingan publik. Dalam hal ini kebijakan terhadap PKL di surabaya, yang dimana kebijakan beroirentasi pada masalah PKL yang sadar maupun tak sadar hukum (tanpa adanya ketumpangan kepentingan) melalui proses komunikasi kebijakan



















Sehingga diharapkan pemerintah kota dapat mengaktualisasikan proses kebijakan tersebut sesuai prosedor kebijakan, guna perkembangan dan pemberdayaan PKL sebagai sektor perdagangan di Surabaya.


























B. Simpulan


Pada umumnya kendala-kendala yang ditemui oleh pihak PKl yang ada di Surabaya yakni sebagai berikut :
1. Modal bagi usaha mereka.
2. Tempat Usaha (Lokasi PKL) yang sesuai dengan daya pembeli sehingga PKL meraut keuntungan yang sesuai.
3. Identitas Dagang PKL sebagai perdagangan yang harus dikembangkan dan diberdayakan dalam sektor informal yang tumbuh kembang di Kota Surabaya.
Dan pada umumnya pula kendala-kendala yang dihadapi oleh pihak Pemerintah Kota Surabaya yakni sebagai berikut :
1. Pemberian penyuluhan atau kampanye penaataan PKL yang kurang efektif.
2. memberikan toleransi untuk membereskan dagangannya sampai batas waktu yang ditentukan dan bila tiba waktunya harus dipindah atau penggusuran tiba-tiba.
3. Pemindahan atau relokasi pada daerah yang baru, yang mengalami misscominication dengan pihak PKL.
Guna menangani kendala-kendala tersebut perlu dilakukan suatu upaya dalam menangani persoalan PKL dan Pemkot Surabaya, yakni dengan cara sebagai berikut :
1. Memberikan penyuluhan atau kampanye penaataan PKL
2. Diberi toleransi untuk membereskan dagangannya sampai batas waktu yang ditentukan dan bila tiba waktunya harus dipindah atau penggusuran tiba-tiba.
3. Pemindahan atau relokasi pada daerah yang baru.

C. Saran


Pemerintah Kota Surabaya dalam membuat kebijakan tentang penataan dan pemberdayaan Pedagnag Kaki Lima diharapkan lebih memahami persoalan Pedagang Kaki Lima sehingga dalam kebijakannnya bersifat adil. Selain itu PKL dan Pemkot dapat menfungsikan komunikasi diantara mereka melalui lembaga PKL yakni paguyuban PKL secara keseluruhan.


DAFTAR PUSTAKA



Harsiwi M. Agung 2003.Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Keberadaan Pedagang Kaki Lima.Jurnal Ekonomi dan bisnis. Volume 14:1.
Poloma, Margaret.2004. Sosiologi Kontemporer. Jakarta, PT Raja Grafindo Persada.
Perda Kota Surabaya No. 3 tahun 2002 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surabaya.
Perda Kota Surabaya No 17 tahun 2003 tentang Penataan dan Pemberdayaan PKL.
Salman, Otje dkk.2004. Beberapa Aspek Sosiologi Hukum. Bandung, PT Alumni.
Wibowo, Edi dkk.2004.Hukum dan Kebijakan Publik. Yogyakarta, YPAPI.
http://infid.be/fka.pdf

Tidak ada komentar: